Berdamai dengan Tetangga

[Curhat] Hidup di lingkungan padat itu berarti siap dengan risiko bertetangga. Kenapa? Jika di kota mungkin sudah sibuk sendiri ya, bertetangga sudah jarang menyapa. Tapi. Jika di perumahan padat bagaimana? Rasanya tidak mungkin deh :) Ya harus siap berdamai dengan tetangga.

Ini pengalaman pertamaku tinggal di perumahan padat. Sejak kecil tinggal di rumah yang jauh dari keramaian. Rumah orang tuaku di Danau Dendam Bengkulu ada tetangga tapi enggak sepadat tinggal di perumnas. Tetangga sebelah kiri ada , tapi tetangga sebelah kiri dibatasi dengan tanah kosong. Sedangkan bagian depan masih rawa. Apalagi bagian belakang ada kebun saja.


Bahkan sejak menikah, aku tinggal di perumahan gang enggak ramai amat. Selalu rumah yang bagian pojok, ujung atau sepi. Ya, walau ada tetangga kiri dan kanan tapi tidak dikepung kanan, kiri, depan belakang, dan lainnya.

Lalu, saat pindah ke Padang, kami menetap di Perumnas Belimbing. Perumahan padat se Sumbar. Konon katanya, perumahan ini awalnya sepi tapi sejak gempa hebat tahun 2004, orang yang rumahnya di wilayah pantai pada mencari rumah di Perumnas Belimbing.

Nah, ceritanya saat suami survei sekolah buat Faris ditawarilah ngontrak di rumah kepseknya, berhubung tak banyak waktu buat mencari rumah lagi. Akhirnya kami menetap di sini. Insya Allah sudah mau 2 tahun. Wow, tidak terasa ya.

Tetangga di sini ajaib. Penuh warna, ada suka menghidupkan musik dengan kencaaang sekali, ada gang suka bakar sampah, ada gang suka ribut dengan tetangga bahkan sampai maki-makian, ada juga yang rajin banget buat gotong-royong. Lengkapkan?

Awalnya sulit menyesuaikan dengan tetangga di sini. Di saat aku baru melahirkan, baru punya anak bayi, tetangga yang menghidupkan musik dengan kencang itu enggak peduli. Bahkan pernah acara tahun baru di depan rumahku hingga larut malam, full musik dan para tetangga ngumpul karokean.

Mau marah? Lapor pak RT, ngg kayaknya perxuma , wong Pak RT juga ikut acara itu. Bahkan sebagai sponsor buat acara musik dan anaknya ikut nyanyi. Kalau sudah gituan mau gimana lagi?

Menjaga anak-anak dari pengaruh lingkungan juga PR terbesarku selama tinggal di sink. Anak-anak suka bicara kotor (mencarut), kalau sholat suka telat karena melihat temannya tidak sholat. Ada juga yang suka memamerkan mainannya. Jadi kalau ada anak satu aja beli mainan baru, yang lain bakal beli juga, ckckck....
Paling bikin sebel itu soal ayam. Banyak ayam datang ke rumahku. Memang sih sebagai rumah yang paling pojok, rumahku paling luas perkarangannya, tapi dititipkan ayam (tanpa izin) itu nyesek pas buat kotorannya di teras. Mana ada yang pernah mati dan suamiku yang menguvurkan. Ada juga ayam yang sakit kami mencari pemiliknya.

Ya, begitulah lika-liku kami bertetangga, tapi aku berusaha silaturahmi. Tetangga yang punya warung aku belanja disitu dan akhirnya ngobrol. Saat kami mudik ke Bengkulu cukup lama, kami menitipkan rumah. Alhamdulillah rumah aman. Selama di sini tidak ada berita kemalingan curi motor di dekat rumahku. Adanya kemalingan hp dan uang saja. Itu sepertinya orang yang dikenal tetangga, bukan warga tetap.

Saat ada yang nikah, kami juga diundang dan mengenal adat Minang dalam baralek. Begitu juga pertemuan rutin di Mushola. Inilah cara kami berdamai dengan tetangga. Jika ada perselisihan paham kami berusaha mencairkan suasana.

Bagaimana cara Moms dalam bertetangga? Semoga berkenan berbagi cerita.

8 komentar untuk "Berdamai dengan Tetangga"

  1. saling tenggang rasa aja ya sama tetangga walau kadang kesel :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbk, walau kesal tetap kita butuh mereka, jika ada apa2, tetangga yang duluan bantu

      Hapus
  2. tetangga yang seperti ini akan menjadi kenangan tersendiri saat nanti sudah pindah :D

    BalasHapus
  3. aku juga tinggal di pemukiman yg lumayan rame mbak.. tapi sbnrnya msh dlm batas2 normal sih.. cuma aku paling sebel pas pak ustad sekaligus ketua rt ngadain acara tabligh akbar.. wadoooh itu pake ceramah yg kencengnya sampe kedengaran ke komplek tetangga. mana pernah tuh isinya provokatif bgt.. mbok ya sadar kalo di situ ga semuanya muslim, kayak ga punya hati gitu loh :( Makanya jujur aja aku ga prnh mau ikutan sumbangan utk acara2 mereka.. bodo amat ah.. kadang suami maksa sih, tp karna istrinya keras kepala, ujung2nya suami ga enak sndiri kali ya, jd pake uang jajan dia sendiri. abisnya utk acara yg ngerusak kerukunan umat beragama mah aku ogah mau nyumbang.

    trs ama anak2 di sini suka omong kotor.. itu aku kuatir bgt.. apalagikan aku juga punya anak cowo.. takut ketularan gitu loh mbak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam bermasyarakat kita memang harus bijak ya, di mana disitu mayoritas dan harus tenggang rasa. Soal bicara kotor, aku juga masih jadi PR besar, karena budaya anak-anak sini soal gitu kalau kesal mengucapkan kata kotor. Hiiks...

      Hapus
  4. Oooo timggal di perumnas belilbing yayuk? Uni pernah nginap di kawasan itu waktu tante uni ngontraknrumah di sana juga. Emang rame. Hehhe
    Uni termasuk gak kuat kalau terlalu rame gitu. Untung hanya ngontrak ya yayuk. Hehehe.
    Kalau beli rumah... lingkungan selalu menjadi salah satu indikator suka atau tidak sama rumah.
    Uni juga tinggal di perumnas tp nggak terlalu padat. Dan uni hanya kenal bbrp tetangga aja.
    Jika ada masalah ama tetangga.. biasanya uni lapor pak rt atau seperti yg dulu.. uni cari info hukumnya. Print out dan tempelkan di kaca mobilnya tetangga. Ini waktu tetangga parkir mobil sesuka hatinha sampe uni gak bisa masukin mobil uni ke garasi. Hehehe

    Memang ya... heboh soal tetangga ini. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Uni, di Perumnas Belimbing padaaat banget, ampe anak nangis dipukul aja kedengaran. Kalau di rumah Lampung engak sepadat ini walau di perumahan dan kalau tetangga enggak ada yang jahil hihihi... cuma rawaaan maling motor hiiks

      Hapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menghindari spam. Mohon juga follow blog, Google +, twitter: @Naqiyyah_Syam dan IG saya : @naqiyyahsyam. Semoga silaturahmi kita semakin terjalin indah ^__^