Dido Tak Nakal Lagi


Cerita Anak: Dido Tak Nakal Lagi

Naqiyyah Syam dan Kibtiyah

SEJAK upacara berlangsung, Dido ribut terus. Ada saja yang dilakukannya. Tak bisa diam, apalagi tenang. Tangannya terus bergoyang ke kiri ke kanan. Kakinya ditekuk-tekukkan. Badannya condong kanan-condong kiri. Kadang tangannya menjawil lengan temannya. Ah, Dido memang jahil! Padahal, Bu Asih wali kelasnya, kelas I C berada tepat di belakangnya. Selalu memperingatkan dengan halus, menyentuhnya dengan lembut, dan menegur pelan. Tapi dasar Dido. Tak digubrisnya. Bu Asih terlihat sedih dan kecewa melihat anak asuhnya semakin bertingkah.

Bel berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Anak SDIT kelas I C sudah siap belajar. Tampak teman-teman Dido telah mempersiapkan alat tulisnya.
“Anak-anak, hari ini kita belajar Bahasa Indonesia, ayo tulis tanggal di buku tulisnya ya!” perintah Bu Asih. Semua anak menuruti dengan segera, kecuali Dido. Ia masih saja berlari ke sana-ke mari. Lalu menyembunyikan penghapus milik Reni. Reni lalu teriak keras.
“Buu! Dido mengambil penghapusku!”
“Enggak kok, Bu. Aku pinjam sebentar aja,” elak Dido.
Bu Asih yang sedang menulis di papan tulis segera mendekati mereka.
“Ayo Dido, kalau mau pinjam izin dulu, jangan langsung diambil. Coba minta maaf dengan Reni,” ujar Bu Asih. Dengan ogah-ogahan, Dido menyalami Reni.
“Maafkan aku ya, Reni,” ujar Dido sambil memutar-mutar pensil 2B-nya.
“Iya, aku maafkan, tapi awas lo kalo diulangi lagi,” jawab Reni.
Bu Asih dapat bernapas lega. Dido memang murid yang super energik. Entahlah apakah bersifat hiperaktif, ia tak tahu. Dido memang selalu bikin ulah, ada saja yang menjadi sasarannya. Rata-rata anak perempuan yang sering menangis karena ulah Dido.
Setelah istirahat, pelajaran selanjutnya Matematika.
“Ayo siapa yang bisa mengerjakan soal-soal ini cepat dan benar akan ibu beri hadiah!” ujar Bu Asih. Anak murid kelas I C bersorak gembira.
“Enam tambah empat puluh delapan sama dengan….! Ayo….siapa yang bisa maju ke depan!” ujar Bu Asih.
“Saya, Bu!” teriak Yoan dari belakang.
“Saya, Bu!” Annisa berteriak kencang.
“Saya juga bisa, Bu!” teriak Bella dari samping kanan.
“Ayo…Dido, kamu bisa tidak?” tanya Bu Asih. Dido hanya nyengir kuda. Dari tadi ia tak memperhatikan Bu Asih mengajar. Ia asyik berlari-lari di kelas. Kadang mencoret buku tulis milik temannya atau menyimpan buku tulis temannya, hingga temannya menangis.
“Ayo, Bella tulis jawabannya ke papan tulis!” Kali ini Bella maju ke depan menjawab dengan benar. Semua anak bersorak gembira, menunggu giliran menjawab soal berikutnya. Tiba-tiba…..brak! Botol air minum milik Annisa tertumpah. Annisa menangis dengan keras. Bu Asih dan Bu Anis menghampiri mereka, kedua guru kelas I C itu membujuk Annisa untuk segera menghapus air matanya.
“Dido, Bu, ia menabrak dan menumpahkan air minumku!” ucap Annisa sambil sesegukkan. Air menggenangi sebagian meja belajar Annisa dan merembes ke buku tulisnya. Bu Asih menenangkan kelas yang mulai riuh.
“Anak-anak sekarang semuanya tenang!” semuanya langsung duduk yang rapi di bangku masing-masing dan tenang.
“Hari ini siapa yang mau dapat bintang!” teriak Bu Asih. Di kelas I C setiap anak memiliki kertas putih yang ditempel di dinding dan tertera nama masing-masing. Bila berprestasi dan berakhlak baik selama mengikuti pelajaran, maka akan mendapatkan satu bintang yang terbuat dari karton berwarna berbentuk bintang. Bila mendapatkan latihan atau PR nilainya 100 atau akhlaknya selama pelajaran tidak ribut, akan mendapatkan bintang. Semakin banyak mendapatkan nilai 100, bintangnya semakin banyak dan siapa yang bintang paling banyak, maka di tengah semester akan mendapatkan hadiah dari Bu guru.

“Baik, kalau semuanya mau mendapatkan bintang, dengarkan pengumuman Bu guru. Dido telah berbuat salah. Ia telah menunpahkan air minum milik Annisa, tidak selesai menulis, menganggu teman, dan selalu ribut. Nah, hukumannya, Bu guru tidak akan memberi kasih sayang pada Dido selama ia tak mau berubah. Bu guru akan diamkan, dan walau Dido mendapatkan nilai 100, tidak akan mendapatkan bintang, paham!” ujar Bu Asih. Semua mengangguk setuju.

Pelajaran dilanjutkan. Kali ini, keadaan kelas tenang kembali. Tak ada yang teriak-teriak, merobek kertas, berlari-lari ataupun menangis. Dido yang dari tadi biang keributan, tampak diam merenung. Sejak tadi ia tak memahami soal yang ditulis Bu Asih di depan. Tapi ia takut bertanya, namun ketika ia bertanya dengan teman di sebelahnya, si Reni diam saja. Waktu bertanya dengan si Bella, juga diam saja, semua mendadak jadi cuek bebek. Dengan langkah berat, Dido maju ke bangku guru, ia menanyakan soal yang sulit dipahaminya.
Tak disangka, Bu Asih daan Bu Anis mendadak bisu. Mereka diam saja, tak menggubris kehadiran Dido. Bahkan ketika si Annisa datang juga menanyakan hal yang sama, Bu Asih dan Bu Anis bersikap ramah dan menerangkan soal yang rumit itu. Dido terdiam lama. Ia benar-benar terpukul.

“Kalo Bu Guru enggak sayang lagi bagaimana, ya? Tidak enak rasanya tidak disayang guru. Apalagi dicuekin. Teman-teman juga ikut menjauhiku,” batin Dido menyesali. Ia teringat akan ulahnya yang selama ini terjadi. Sejak empat bulan sekolah, ia selalu dimarahi Bu guru. Tepatnya karena ia membuat salah. Dodi ingin sekali berubah, tapi malu.

Tak terasa bel berbunyi. Waktu pulang tiba. Setelah membaca doa pulang bersama. Semua anak dengan tertib dan rapi menyalami Bu guru untuk segera pulang. Dido sengaja berdiri di barisan terakhir.

“Bu, Dido minta maaf ya, Dido salah, Dido janji tidak akan mengulangi lagi,” kata Dido saat menyalami Bu Asih dan Bu Anis. Ruangan sudah sepi. Kedua gurunya tersenyum gembira. Sejak saat itu Dido berubah. Ia tak lagi sering jahil, ribut ataupun telat menulis.

Dido kembali menjadi murid yang rajin dan ramah. Prestasinya kian meningkat. Bintang yang diperolehnya semakin bertambah. Tak heran akhirnya Dido berhasil mendapatkan hadiah karena bintangnya paling banyak. Bu Asih dan Bu Anis turut bahagia. Kini semua anak kelas I C mendapatkan kasih sayang setiap hari oleh kedua gurunya yang baik hati.

Posting Komentar untuk "Dido Tak Nakal Lagi"