Pengembara Cinta


Dimuat di Lampung post 03/09/2008


SALAT asar berjemaah baru saja usai. Senja mulai menjelang. Burung-burung beterbangan mengepakkan sayapnya, lalu dengan riang hingap di pohon akasia di dekat pintu gerbang. Langkah kuayun keluar masjid. Menuruni anak tangga demi anak tangga. Betapa terasa senja hari ini sangat indah, ada pelangi di ufuk barat setelah seharian Kota Medan diguyur hujan. Sambil menjinjing sandal, kuarahkan pandangan ke arah timur dekat pintu gerbang masuk masjid.

Seorang anak kecil berlari-lari gembira, tak jauh dari sana, seorang lelaki tegap dan seorang perempuan duduk di bawah pohon akasia yang rindang beralas koran, mungkin orang tua anak kecil tadi. Duuuh… Alangkah indahnya membentuk keluarga yang harmonis. Lamunanku jauh ke kampung halaman, menyeberangi pulau, Purwokerto. Kepada bapakku yang mulai tua tanpa Ibu yang melayani keperluan sehari-hari beliau, sejak dua tahun yang lalu. Ibu telah menghadap-Nya. Kepada kedua adik kembarku yang masih membutuhkan banyak biaya kuliah mereka di Yogyakarta. Ahh..

“Duuuh.. Gusti Allah, betapa, indahnya menikmati kesejukan di sore ini, apalagi bila telah memiliki keluarga seperti mereka yah?” Gumamku sendiri.

“Mau disemir, Pak?” tanya seorang bocah penunggu sepatu.

“Tidak,” aku tersentak kaget dan menggeleng lemah.

Aku berlalu darinya. Beginilah bila pengangguran semakin banyak. Di depan masjid pun menjadi sasaran empuk mencari pekerjaan. Menjaga sandal dan sepatu, menyemir menjadi alternatif demi sesuap nasi. Kembali kuayun langkahku menuju pintu keluar Masjid Al-Mashum, Masjid Raya Kota Medan.

***

“Gimana, Mas Roso? Jadi menikahnya? Kapan?” Firman sahabat karibku bertanya. Kantin di ujung belakang kantor ini cukup ramai bila menjelang zuhur tiba. Aku dan Firman sedang menikmati makan siang.

“Sepertinya belum sekarang. Ditunda.”

“Kenapa?”

“Nanti deh aku ceritakan, jangan di sini, tidak enak kedengaran orang,” ujarku sambil berbisik.

“Trus bagaimana dengan Ira? Kamu kan sudah mengatakan pada keluarganya akan segera menikahinya?”

“Entahlah,” aku menghela napas dengan berat. “Ahh Ira, maafkan aku yang telah menyakiti hatimu,” desahku dalam hati.

Aku jadi teringat pada Ira. Gadis yang cerdas, manis, ceria dan ramah. Aku telah memilihnya untuk menjadi pendampingku kelak. Tekadku bulat. Tepat setahun aku mengenalnya. Kami bertemu dalam sebuah acara pertemuan seluruh PNS Pemda se-Sumatera Utara. Singkat cerita, aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku padanya, juga pada keluarganya, sebelum aku pulang ke Purwokerto, tempat keluarga besarku bermukim. Tak kuduga, tak kusangka. Cerita berganti menjadi prahara. Keluargaku kini mencegah. Padahal sebelumnya via telepon keluargaku setuju saja bila aku melamar Ira. Apa pun gadis pilihanku kelak.

Dunia seakan sempit. Dadaku terasa sesak. Keluarga besarku berbalik 90 derajat dari restu semula. Aku dihadapkan pada dua pilihan pelik. Aku terkapar dalam masalah keluarga. Klasik memang. Tapi penting. Tak jauh dari ekonomi dan budaya. Jawa-Sumatera. Ah, kenapa harus ada perbedaan? Kenapa harus ada benturan? Inikah balasan dari tak matangnya aku menyosialisasikan tentang pernikahan dini? Oh tidak, aku sudah 28 tahun! Bukan anak ABG, tapi…

Kepalaku terasa berat. “Wahai Zat Yang Maha Mengetahui, betapa hamba menjadi serbasalah,” ratapku pada-Nya. Sejak kepulanganku dari Purwokerta. Acara pernikahan Mbak Sari. Aku semakin pusing. Bagaimana cara mengatakan pada Ira dan keluarganya. Haruskah aku jujur pada mereka? Pernikahan batal? Ohh Tuhan. Padahal, harapan itu sudah kutumpahkan pada Ira dan keluarganya, pada keluargaku, pada harapanku. Terasa beban ini mengimpit, diburu keinginan menggenapkan setengah din.

“Hei! Roso, Kamu melamun ya?” suara Firman menyadarkanku. Bahuku diguncangnya berkali-kali.

“Kalo masih capek, nggak usah cerita dulu deh. Makan dulu, melamun aja.” aku tersenyum malu pada Firman.

***

“So, kamu sakit? Katanya mau curhat? Ayo cerita,” suara Firman.

“Aku malu mengatakannya padamu, pada Ira dan keluarganya. Apa kalian bisa maklum dengan alasanku nanti?” ceritaku pada Firman di kosannya. Malam minggu begini, biasanya kami habiskan menonton acara di Metro TV atau berdiskusi hingga menjelang malam.

“Masalahnya apa? Kamu kan belum cerita padaku sejak kepulanganmu dari Purwokerto. Apa keluargamu tidak setuju?” tanya Firman sambil mendekatiku yang duduk di atas kasurnya. Kamar berukuran 3 x 3 meter ini terlihat sangat rapi, dengan sigap Ia menekan remote control mengecilkan volume TV ukuran 14 inc tepat berada di depanku.

“Pada awalnya, keluargaku setuju saja aku menikahi Ira, dari cerita-ceritaku, telah menyakinkan mereka, tapi sejak kedatangan bulek-bulekku dari Jakarta, pandangan mereka terhadap rencana pernikahanku mulai berbeda, apalagi dengan permasalahan dalam keluargaku.”

“Terus bagaimana?”

“Aku sendiri bingung. Keluargaku meminta aku menunda pernikahanku dengan Ira, minimal dua tahun lagi.”

“Astaga naga, lama sekali? Apa tidak ada solusi lain? Lama-lama begitu bisa disambar orang tuh,” goda Firman. Aku tersenyum kecut, tidak menanggapi guyonannya.

“Eehh maaf, tapi apa emang itu alasannya? Boleh aku tahu ada apa sebenarnya? Itu pun kalo kamu nggak keberatan.”

Pada Firman seorang akhirnya aku bercerita. Keluargaku sederhana. Ketika mendiang ibu masih ada di tengah kami, berbeda sekali. Ibu yang penuh semangat, ceria dan sangat disegani dari pihak keluarga. Perekonomian keluarga relatif stabil walau ada riak di sana-sini. Tapi, kami semua bisa mengenyam bangku kuliah. Tragedi bermula ketika ibu akhirnya divonis menderita stroke. Beliau menderita sekitar 5 tahun. Kami sekeluarga berusaha mengobati ibu ke mana-mana, tapi Tuhan berkehendak lain. Semua upaya telah dicoba. Dari dokter, pijat refleksi, ramuan tradisional hingga mandi rempah-rempah. Ah, bayangan ibu seakan menjelma menjadi nyata. Saat itu, apa pun kami lakukan untuk kesembuhan ibu. Dulu kami memiliki 3 toko kelontong terbesar di kotaku. Perlahan akhirnya dijual hingga tinggal satu toko kecil untuk menyambung hidup.

Tahun berganti. Mbak Sari sudah menjadi PNS, aku sudah diterima kerja di Medan, kedua adik kembarku sudah kuliah. Selama ini biaya kuliah adikku berasal dari Mbak Sari dan beberapa sokongan keluarga besar ibu. Apalah besarnya dari penghasilan toko kecil di sudut pasar yang dikelola bapak yang sudah mulai sakit-sakitan untuk biaya kuliah mereka juga perekonomian di rumah sehari-hari. Tapi aku bersyukur, keluargaku tak terlilit utang.

Niatku ingin menjaga diri, maka kuputuskan untuk segera menikah. Ibadah kan? Tapi inilah skenario-Nya. Aku terbentur dalam sebuah pilihan. Oh bagaimana? Mbak Sari baru saja menikah, otomatis biaya kuliah kedua adik kembarku ada di pundakku. Nanti bila aku menikah, tentu kebutuhan biaya hidup akan meningkat, bagaimana dengan biaya kuliah adikku?

“Fir, aku bingung! Nggak mungkin aku melepaskan cita-cita adik-adikku kan?”

“Apa sudah kamu diskusikan dengan Mbak Sari? Berbagi untuk membiayai mereka berdua misalnya?”

“Belum, aku tidak berani membebani Mbak Sari lagi.”

“Kamu sudah memberitahu Ira?”

“Sudah”

“Bagaimana tanggapannya?” Aku hanya diam tak kuat menceritakan pada Firman bagaimana ekpresi Ira yang kecewa atas keputusanku.

“Aku prihatin dengan masalahmu. Sungguh. Tapi, percayalah kita menikah pasti dengan jodoh kita. Bila pun kamu dan Ira berjodoh, entah sekarang atau bahkan 10 tahun yang akan datang pasti akan bertemu. Tapi tentunya, pernikahan itu akan lebih baik bila disegerakan, asal jangan terburu-buru. Bukankah bernilai ibadah? Menggenapkan setengah din lo, tapi dipikir secara jernih, emang sih kondisi keluargamu perlu juga dipertimbangkan, tapi apa tidak ada jalan keluar yang lebih baik? Atau, mau mengambil jalan tengah?”

“Apa?”

“Kawin lari!” jawab Firman enteng. Aku melempar sebuah bantal tepat pada wajahnya. “Uuh, diajak serius malah bercanda!”

Ya, kuingat semua ini baru saja ikhtiar. Mencari istri ternyata tidak mudah yah? Apalagi untuk menikah secara cepat? Sepertinya aku harus banyak belajar dari pengalaman ini. Ternyata aku masih mentah bicara soal pernikahan.

***

Universitas Islam Indonesia (UII) hari ini cukup ramai, dipadati oleh beberapa mobil, motor, maupun angkutan umum. Prosesi wisuda baru saja berakhir. Kebahagiaan terpancar dari balik wajah manis berkerudung hijau lumut. Yanti. Ia berjalan dengan anggun berselimut kebaya, dan toga di kepalanya.

“Mas, fotokan Yanti sama Bapak di depan sana yah!” ujar Yanti menunjukkan papan nama UII di arah barat, kira-kira 500 meter dari kami berdiri.

“Ayoo.. berdiri yang rapi yah! Sip! Satu, dua, tiga!”

Klik, Aku memotret mereka, ada juga Mbak Sari bersama suami dan putranya, Bapak, Yanto dan Bulek Darmi beserta keluarganya. Aku tersenyum bahagia melihat kebahagiaan mereka.

Aku datang sendiri. Tanpa istri dan anak di sampingku. Menjelang usia 32 tahun aku memang masih lajang. Belum menikah. Ya keputusan telah kupilih. Aku melepaskan proses pernikahanku dengan Ira beberapa tahun yang lalu karena pertimbangan masalah keluarga. Apalagi soal dana persiapan pernikahan, biaya kuliah adik-adikku dan lokasi yang jauh. Tak mungkin memaksakan kondisi keluargaku untuk segera menikahkan aku dengan Ira.

Apa kabar Ira sekarang? Kurasa dia telah berumah tangga sejak pengunduran diriku. Aku tak berani mencari tahu lagi tentang keberadaannya. Biarlah aku yang mengalah. Tak apalah, demi kebahagiaan keluargaku dan keberhasilan kedua adik kembarku. Dan impianku akan segera kugenapkan. Aku akan segera menikah dalam waktu dekat ini. Penasaran siapa calonnya? Sttt masih rahasia.

Medan-Bengkulu, 20 Agustus 2004

(Ide cerita dari SMS tanggl 28 Desember 2003)

Posting Komentar untuk "Pengembara Cinta"