Berdamai dengan Bahasa Indonesia Menuju Sukses UN

SDIT Baitul Muslim Tahun 2010

 Tahun 2010 yang lalu menjadi sebuah pengalaman indah bagiku. Saat aku dipercaya kepala sekolah untuk menjadi guru Bahasa Indonesia di kelas 5 dan 6. Otomatis aku menjadi pembimbing murid kelas 6 mempersiapkan Ujian Nasional (UN), khususnya pelajaran Bahasa Indonesia.
Awalnya menjadi tantangan besar untuk memulai mengajar Bahasa Indonesia. Biasanya aku hanya sebagai guru kelas I dan II, tapi tahun ini aku menjadi guru bidang study Bahasa Indonesia saja.  Tentu bukan yang mudah untuk berdamai dengan Pelajaran Bahasa Indonesia. Latar pendidikanku bukanlah dari FKIP atau Bahasa Indonesia, tapi dari S1 Kehutanan. Kepala sekolah memilihku karena aku dianggap layak.
“Kan sudah menjadi ketua FLP Lampung Timur, pasti jago menulis. Apalagi sudah menang lomba, kan?” tantang Kepsekku.
Bismillah aku menerima amanah ini dengan terus mencari cara agar aku lebih menjiwai Bahasa Indonesia. Pelajaran yang paling kusukai sejak SD. Alhamdulillah, aku tak menemukan banyak kesulitan. Bahkan, aku terbantu sekali. Aku  kembali belajar tentang drama, puisi, kalimat utama, anonim, antonim dan materi lainnya yang sangat berguna dengan hobi menulisku.
Saat yang dinantikan tiba. Aku belajar lagi mengenal karakter murid kelas 6 dan metode pendekatannya. Ya, ternyata tak semua murid yang menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib Ujian Nasional (UN).
“Duuu, bagaimana mengajak mereka berdamai dengan Bahasa Indonesia, ya?”
Akupun menyiasatinya dengan berbagai metode. Dari permainan, tebak-tebakan, pantun, Mading, drama, nonton film, dan lainnya menjadi ‘senjata’ pendekatanku. Semua agar murid kelas 6 menyukai Pelajaran Bahasa Indonesia yang kesannya ‘gampang’.
“Alah, Bu, Bahasa Indonesia nggak perlu belajar serius, kan bahasa kita sehari-hari,”
“Males, loh Bu, banyak bacaannya!”
“Bahasa Indonesia, mah, keciiil…”
            Begitulah komentar sebagian muridku. Mereka masih menganggap pelajaran Bahasa Indonesia bukan pelajaran yang patut dipelajari secara serius. Sedangkan aku semakin tertantang! Apalagi tahun sebelumnya nilai UN Bahasa Indonesia dari sekolahku, ada 3 siswa yang dapat nilai 10. Bagaimana dengan tahun ini? Aku berharap minimal ada 1 siswa yang berhasil mendapat nilai 10.
            Semester 1, aku benar-benar mempelajari karakter mereka, sehingga mereka makin enjoy. Naik ke semester 2, suasana mualai cair. Mereka sudah terlihat banyak kemajuan. Ternyata karakter murid kelas 6, banyak yang belajar sambil bermain. Inilah menjadikanku harus kreatif menciptakan suasana belajar yang fun.
            Jelang UN semakin dekat, les dari sekolah diadakan setiap hari Sabtu. Akupun semakin intensif memberikan bimbingan dengan mengulang materi yang telah dipelajari dari kelas 1-6.
Latihan try-out pun semakin sering digelar, baik dari pihak sekolah, maupun Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT). Pelan-pelan kemajuan sudah terlihat. Walau masih ada satu, dua murid yang masih menjadi PR besar bagiku agar nilainya semakin baik.
            Tak cukup dengan les di sekolah, aku mewajibkan anak-anak yang nilainya masih di bawah rata-rata untuk belajar di rumahku setiap malam Minggu. Sekitar 10 orang kuwajibkan untuk mengikuti bimbingan tambahan. Ternyata antusias yang datang cukup banyak. Tak cuma yang memiliki nilai di bawah rata-rata versiku, tapi yang sudah kuanggap ‘lulus’ juga hadir.
Alhasil, belajar tidak maksimal. Mereka malah belajar sambil bermain hp. Wih, Hp-nya canggih-cangih deh, kalah ama gurunya. Dasar ABG, ringtone merekapun mengikuti lagu-lagu tren zaman sekarang. Dari Wali Band, ST-12, Ungu dan lainnya. Membuat aku semakin cenat-cenut dengan pola muridku. Olala, PR-ku tak cuma mengantarkan mereka sukses di pelajaran Bahasa Indonesia saja,  tapi juga mengingatkan pola pikir mereka agar tak terlalu jauh dengan perangkap Ghozul Fikri, khususnya musik. Akupun mengambil tindakan tegas. Selama les berlangsung hp mereka disita dan tak boleh kirim SMS-an atau mengaktifkan earphone.
            Ujian Nasional semakin di depan mata. Aku semakin dag dig dug dengan hasilnya. Sekolahku memegang erat prinsip untuk tidak membocorkan soal UN kepada murid-muridnya. Apalagi membocorkan jawaban. Kami murni mengandalkan kemampuan anak-anak dengan bimbingan yang telah kami berikan selama ini. Agar semakin memperkuat kepercayaan diri murid kelas 6 kami adakan Mabit bersama dengan beberapa kegiatan motivasi.  Kami mengajak mereka untuk berserah diri kepada Allah SWT terhadap hasil akhir.
            Pagi menyambut UN. Anak-anak berdatangan ke sekolah dengan sambutan yang tegang!
            “Bu, doakan saya ya,”
            “Bu, aku takut!”
            “Bu, aku tak mau kalo nggak lulus!”
            Bermacam-macam curhat mereka. Aku dan beberapa guru kelas 6 berusaha menenangkan mereka. Kami membimbing  mereka untuk berdoa dan mempersiapkan kondisi ruhiyah mereka sebelum pengawas masuk ke ruangan.
            Keluar ruangan mereka riuh kembali.
            “Bu, ada banyak soal yang tak ada jawabannya!” seorang siswa mengeluh.
Kucek ulang soal yang ada dari pengawas. Astaga! Memang ada sekitar 3-4 soal yang susah ditebak jawabannya. Bahkan analisaku, jawabannya tidak ada alias soal yang salah.
“Wah, ini alamat anak-anak tak ada yang nilai 10, nih!” batinku. Kucek ulang soal Bahasa Indonesia dengan teman sejawatku. Sama! Mereka juga tak menemukan jawaban. Akupun pasrah, tahun ini kemungkinan dari sekolahku tak ada yang mendapat nilai 10 pada pelajaran Bahasa Indonesia.
Waktu berlalu hingga sampai dengan hari penentuan kelulusan. Jerih payah murid dan guru kelas 6, terutama yang diamanahkan pelajaran UN terjawab sudah. Kepala sekolah telah mengirimkan SMS tentang kelulusan murid-murid kami. Alhamdulillah, mereka lulus 100% dan ada yang mendapat nilai 9 lebih untuk pelajaran Bahasa Indonesia.
            Kabar gembira ini kami kunci rapat sebelum diumumkan langsung dengan murid kelas 6. Seperti tahun sebelumnya, tradisi pengumuman kelulusan akan dilakukan. Kami mengumpulkan murid kelas 6 di Masjid dan guru-guru kelas 6 memberikan nasehat.
Satu per satu guru memberikan nasehat agar mereka tetap tenang dengan berbagai kemungkinan.
            “Hasil kelulusan telah ada. Apakah kalian lulus semua?”
            “Jangan besar hati, jika kalian dinyatakan lulus, dan jangan pula kecil hati jika kalian tidak lulus,”
            “Coba, pejamkan mata! Bayangkan kedua oarng tua kalian yang menyambut dengan sedih ketika mengetahui kalian tidak lulus Ujian Nasional! Semua karena kalian malas belajar! Karena menyepelekan salah satu pelajaran! Bayangkan bagaimana hancurnya perasaan orang tua kalian! Mereka telah bersusah payah membiayai kalian sekolah, tapi apa balasan kalian? Kalian tidak lulus!”
            Suara tangis mulai terdengar. Murid kelas 6 sudah bertangisan.
            “Apakah kalian merasa lulus semua?”
Mereka masih menggeleng lemah dengan mata sembab.
            “Kini bayangkan wajah kedua orang tua kalian yang menyambut dengan gembira ketika kalian semua lulus Ujian Nasional. Bayangkan wajah ayah, ibu, kakak, adik dan keluarga kalian. Mereka sangat gembira dengan keberhasilan kerja keras kalian selama ini!”
            Kembali senyum optimis terpancar di wajah-wajah mereka.
            “Kelulusan bukanlah suatu akhir dari perjalanan kalian. Tidak luluspun bukan berarti kiamat dalam hidup kalian. Untuk itu, kami dewan guru berharap kalian semua tetap  optimis dengan hasil yang kalian lihat nanti. Sekarang bersiaplah, nilai sudah ditempel di depan kantor di lantai 2, silakan kalian melihat sendiri dengan tertib!”
            Usai sudah tradisi ‘wejangan kelulusan’ khas sekolahku. Kami menyimpan senyum geli dan rasa haru. Tak lama teriakan Allahu Akbar bergema dan tangis haru mereka kian pecah.
            “Subhanallah aku, lulus!”’ teriak mereka.
            “Aku juga!” teriak yang lain.
            “Kita semua lulus!”
            Mereka meluapkan kebahagian dengan terkontrol. Mereka semakin bersyukur tanpa ada coretan di baju seragam, teriak yang histeris, tapi semua penuh dengan memuji asma Allah semata.
Alhamdulillah Tahun 2010 murid kelas 6 semua lulus UN dengan nilai yang cukup memuaskan. Akupun lega telah menjadi bagian persiapan UN.  Aku berharap pelajaran Bahasa Indonesia tetap menjadi pelajaran yang mereka sukai, walau telah menjadi murid SMP dan UN yang berlalu.

            Way Jepara, 27 Maret 2011
                         

            

6 komentar untuk "Berdamai dengan Bahasa Indonesia Menuju Sukses UN"

  1. Membayangkan masa lampau ketika menjelang detik-detik pengumuman kelulusan. Selalu deg-degan tetapi plong puasnya ketika berhasil lulus :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betuul, masa mennati pegumuman dag dig dug ya hihihi...alhamdulillah sudah melewatinya :)

      Hapus
  2. rasanya, ujian nasional bahasa indonesia memang selalu bikin deg-degan, Bu :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya soalnya banyak bacaannya dan kalimat jebakan ya? hihihi...gurunya juga deg2an :)

      Hapus
  3. baca detik-detik pengumuman kelulusan jadi deg-degan juga bu teringat memori dulu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya ya, semua pasti pernah ngalami deg2an takuut banget nggak lulus, alhamdulillah terlewati dengan indah ya :)

      Hapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menghindari spam. Mohon juga follow blog, Google +, twitter: @Naqiyyah_Syam dan IG saya : @naqiyyahsyam. Semoga silaturahmi kita semakin terjalin indah ^__^