Cerpen : Sepotong Cinta yang Ternoda (Lampung Post, 10 September 2016)



Kiriman Bapak Sulistiyo Suparno

Assalamualaikum sahabat Smart Mom,

Pernahkah kalian merasa sulit menulis cerpen setelah pernah mudah menulis cerpen? Aku pernah mengalaminya. Aku bahkan kesulitan untuk memulai menulis cerpen. Mengapa? Karena takut memulai. Takut karena teori di kepala terlalu banyak, hahah....hingga seorang teman mengingatkan, “Tulislah!” lalu aku sekuat tenaga menulis. Revisi, tulis, revisi, tulis, tentu saja dengan banyak membaca contoh cerpen. Terima kasih ya sahabatku Shabrina Ws.

Tapi, dari dulu aku sulit menulis karena imajinasi semata. Aku sering menulis berlatar kisah nyata. Jadi, cerpen ini idenya dari berita di koran dan aku sempurnakan kisahnya dari sebuah buku yang berjudul Lo Gue Butuh Tau LGBT karya Kak Sinyo. Ya, cerpen ini bertema rada serem ya, LGBT. Tapi, aku menggunakan sudut pandang perempuan. Dan, tentu karena ini cerpen pasti sangat banyak dibumbui imajinasi.

Cerpen ini aku buat saat masih di Padang. Aku kirim ke Padang Ekpress. Kutunggu hingga 1 bulan tidak dimuat, aku tarik dan lama kudiamkan di folder dan baru aku kirim ke Lampung Post seminggunya terbit, alhamdulillah.

Pagi itu aku dapat ucapan dari Bang Isbedy Stiawan Z S di group Sastra Minggu. Wow, berasa mimpi deh. Senang sekali. Ini cerpenku yang kedua kalinya aku kirim dan diterbitkan di Lampung Post. Pertama kali ngirim dulu berjudul Pengembara Cinta.

Selamat membaca ya!





Sepotong Cinta yang Ternoda
Naqiyyah Syam

Langit berubah kelam. Hujan rintik-rintik mulai berjatuhan tepat saat perempuan itu menaburkan bunga kenanga, mawar dan melati di pusara suaminya, Hendi. Matanya mulai bengkak, badannya sudah sempoyongan menahan sesak di dada.  Berita kematian itu cepat sekali menyebar. Semua mulut tetangga kiri dan kanannya asyik bergosip. Perempuan itu sudah tak ambil pusing. Airin sudah lelah untuk menangis. Diteguknya air mineral dengan perlahan. Ditariknya napas panjang dan melepasnya dengan cepat. Menapa ia pergi dengan begini? Airin tak menduga sama sekali. Perpisahan ini tak pernah ia bayangkan. Padahal seminggu lagi sidang perceraiannya dimulai. Sungguh, ia pernah berdoa ingin berpisah dengan Hendi.
Seminggu sebelumnya...
Airin melempar koran lokal yang memberitakan kematian suaminya. Terlihat jelas wajah dan tempat kejadian. Diikatkan rambut sebahunya ke belakang.  Air matanya sudah kering. Ia tak peduli lagi gunjingan itu.  Apa kata orang? Ia istri tak becus? Tak bisa hamil? Perempuan itu melemparkan tisu terakhirnya yang telah basah bercampur air mata dan ingus. Jelas sekali di koran lokal itu menampilkan foto suaminya.
“Sebaiknya segera dikuburkan,” seorang rekan keluarganya menghampirinya.
“Aku ingin dia diotopsi,” suara Mbk Lily. Kakak tertua Hendi.
“Tidak perlu,” jawab perempuan itu.
“Kenapa?!”
 Aku istrinya. Tidak puaskah kalian memojokkanku? Apalagi berita itu kian luas diberitakan di koran lokal, di TV lokal, hingga situs online. Perempuan itu berteriak. Tapi hanya dalam hati. Ia menahannya. Dadanya sudah sesak dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. 
Pihak keluarga berembuk. Seorang dokter yang mengenal Hendi semasa hidupnya menolak untuk mengotopsi jenazah Hendi. Ia terus mengatakan sebaiknya otopsi ditiadakan saja. Toh, sudah jelas kematian Hendi karena dirampok. Sepeda motor, hp dan laptopnya hilang.
Pihak polisi juga sudah ramai berkumpul. Mereka menanyakan satu persatu anggota keluarga secara detail sejak kepergian Hendi dari rumah. Ya, Hendi izin bepergian ke Curup. Katanya di sana akan menemui rekan bisnisnya. Sejak mencoba berbisnis pisang di Kabupaten Kepahiang, Hendi sering bolak-balik Bengkulu-Curup menggunakan sepeda motor. Naas hari itu ia dihadang perampok dan membuat mayatnya di dekat irigasi Danau Dendam.
Sebenarnya, mayat Hendi sudah bisa dibawa pulang dan segera dikuburkan. Tapi pihak keluarga tidak menerimanya. Mereka bersikeras minta diotopsi. Perempuan itu telah berusaha menolak dengan keras. Ia tak ingin kasus ini melebar kemana-mana. Ia sudah sangat berduka dengan cara kepergian Hendi. Biarlah ia menelan kepahitan ini. Ia tak ingin menjadi santapan lezat koral dan TV lokal yang mengambil keutungan dari kemalangannya. Biarlah, biar dia saja yang menanggung beban ini.
Namun, perempuan itu tak berdaya. Keluarga Hendi tetap bersikeras untuk melakukan otopsi. Mereka tak yakin perampokan biasa. Mereka mencurigai orang-orang yang pernah ditemui Hendi sebelum kejadian. Lalu otopsi pun dimulai. Rasa takut menjalar di ulu hati perempuan itu. Ia berharap Tuhan mendengar pintanya. Menutupi aib suaminya. Aib yang selama ini ia simpan untuk ditelan tanpa dikonsumsi publik, bahkan keluarga besarnya.
Dua hari masa penantian yang panjang baginya. Keluarga sudah lengkap hadir di rumah sakit. Matanya bengkak setelah semalaman menangis. Teriakan histeris keluarga membahana. Hasil otopsi itu membuatnya gontai. Dokter menemukan cairan di pakaian dalam Hendi.
Sebulan sebelum kematian
“Kenapa lenganmu?” Melia menghampiri perempuan itu. Ia mencari mata yang menyimpan banyak cerita. Perempuan itu menepisnya. Ia menjauh dan segera menutupi lengannya. Perempuan itu memang jarang menyingkap tangannya. Ia lebih memilih berpakaian lengan panjang demi menutupi lengannya.
“Tak apa, aku hanya terjatuh di tangga depan dapur,” jawabnya. Tapi, itu tak membuat Melia langsung percaya. Ia terus mendesak ingin mengetahui sebab mengapa lengan Airin yang biru, kakinya yang biru, pelipisnya yang biru dan jarinya yang mengunakan perban. Perempuan itu tak dapat mengelak. Hanya Melia. Ya, hanya Melia yang pernah memperhatikannya sedemikian rupa. Teman sesama mengelola Day Care Buah Hati tempat ia bekerja.
“Ini ulah Hendi? Kenapa?!” tampak Melia terus mengejar jawaban. Perempuan itu tak kuasa untuk bercerita. Ia tumpahkan keluh kesahnya. Berkali-kali Melia menahan napasnya. Ah, mengapa sebegitu menderitanya perempuan cantik di depannya ini?
“Aku akan bercerai. Aku akan melepaskan Hendi,” kata perempuan itu pada suatu sore yang kelam.
“Kau ingin mengalah?” tanya Melia.
“Ya, aku ingin hidup normal.”
Entah siapa yang ingin hidup normal. Perempuan itu atau Hendi? Buktinya Hendi memilih jalan yang salah. Jalan  yang kerap membuat perempuan itu terperangkap dalam sunyi. Malam-malam yang membeku. Kasur yang dingin tanpa kehadiran Hendi. Hari-hari bagai sandiwara agar tetangga dan keluarga tidak curiga.
Suatu hari Ia berpamitan kepada Hendi.
“Hari ini aku pulang sore,”
Hendi hanya menatapnya sekilas. Ia segera berlalu setelah memakai sepatu dan mengambil tas kerjanya. Pakaian kotornya telah dibungkusnya. Hendi juga tidak sarapan di rumah. Perempuan itu menarik napasnya.
“Aku ikut sampai gang depan ya,”
Ia duduk di belakang Hendi. Motor biru itu membelah kota Bengkulu. Melewati kawasan Kompi dan berhenti di simpang lampu merah Panorama. Kemudian, mereka akan berpisah arah. Hendi meneruskan ke kantornya, sedangkan Perempuan itu naik angkot ke arah Kebun Tebeng.
Perempuan itu mengigit bibirnya, ia menahan rindu. Rindu untuk di antar jemput suaminya. Tapi itu bagai sebuah punguk merindukan bulan. Sejak malam pertengkaran hebat yang terjadi.
“Kau cerita apa dengan Melia, Hah?!” teriak Hendi disuatu sore.
“Aku tak cerita apa-apa,”
“Bohong! Tak mungkin kau tak cerita. Matanya seolah-olah ingin menelan, begitu tajam memandang ke arah perempuan itu.
“Sungguh, aku tak cerita! Melia hanya melihat luka di lenganku.” Isaknya. Hendi murka. Tangannya mengepal dan kembali membekas di tubuh perempuan yang bertubuh kurus itu.
Delapan tahun sebelumnya
            
         Pesta pernikahan usai sudah. Perempuan itu duduk di depan meja rias. Kamar pengantin harum semerbak. Wangi melati tercium menggoda. Di meja lainnya terdapat beberapa toples berisi kue kering. Di lantai ada dua wadah makanan untuk pengantin mencicipi hidangan.
        Hendi masuk ke dalam kamar. Keduanya bersitatap dengan canggung. Duduk bersisihan dan mulai mencicipi hidangan. Beberapa keluarga dan tamu ikut melihat keduanya. Berbisik-bisik. Beranggapan keduanya akan menjadi pasangan serasi. Satunya tampan dan satunya cantik.
     Malam kian larut. Semua tamu sudah pulang tinggal pihak keluarga yang sibuk berberes ruangan. Ini adalah malam ketiga setelah akad nikah. Pesta baru saja benar-benar usai. Perempuan itu sudah sangat lelah dengan berbagai acara adat. Dilihatnya Hendi sudah tidur menghadap ke Timur. Malam berlalu tanpa ada kisah malam pertama layaknya pengantin baru. Hendi selalu gagal mendekatinya. Sekian kata maaf telah terucap. Hendi tak bisa melakukan kewajibannya sebagai suami.
   Lalu waktu berputar kian cepatnya. Perempuan itu tak menemukan kerlip cinta di mata Hendi. Setiap pagi, siang, sore hingga malam, Hendi tak berlama-lama menatap wajahnya.  Perempuan itu terus mencoba mendekati, tapi Hendi bagai menciptakan tembok yang tinggi.
      Semakin hari kian tampak keanehan.  Bukan saja sikap dingin Hendi di kamar. Tapi juga sebuah perlengkapan komestik yang disembunyikan Hendi di kamarnya. Sejak memiliki rumah sendiri. Hendi memohon kepadanya untuk berpisah kamar. Belum lagi jika Hendi menerima telpon. Ia bergaya centil dan bak seorang remaja yang sedang kasmaran. Hancur hatinya melihat gaya Hendi , suami yang dinikahinya dengan segenap cinta, tapi lelaki itu memilih cinta terlarangnya.
Tiga hari sebelum kematian
          Perempuan itu sudah memantapkan hati. Ia sudah lelah untuk berpura-pura. Sandiwara pernikahannya usai sudah. Ia memutuskan untuk bercerai. Oh, demi Tuhan, ini sulit sekali. Berkali-kali perempuan itu memegang kepalanya dan menarik-narik rambutnya. Kepalanya seakan mau pecah. Status janda muda menjadi momok yang sangat menakutkan! Apa kata orang nanti? Bercerai karena tidak bisa hamil? 
  Pihak keluarga Hendi menolak keras keinginannya. Mereka bersikukuh bahwa Hendi masih bisa diobati.
        “Dia hanya diguna-guna,”
      Kakak tertua Hendi tak menerima kenyataan adiknya berbeda. Adik kesayangannya itu menyimpang norma.  Ia meminta Airin untuk bersabar. Menghentikan gugatan cerai yang telah dikirimkan ke pengadilan agama.
        Perempuan itu tak peduli lagi bujuk rayu keluarga. Ia hanya ingin terbebas dari Hendi yang terus menekannya. Hendi terus menutupi kebohongannya. Jika takut orang mengetahui kelemahannya, Hendi tak segan memukulinya. Cukup sudah selama delapan tahun ia menerima pukulan, tendangan dan tamparan. Perempuan itu hanya ingin berpisah untuk selamanya.
        Tapi siang itu adalah siang yang kelam bagi perempuan berkulit coklat itu. Hendi ditemukan tewas di irigasi dekat Danau Dendam. Tubuhnya bersimpah darah dengan pakaian robek di sana-sini. Ia meraung menyebut nama suaminya.
**
        Pusara itu  sudah benar-benar basah dengan air hujan. Perempuan itu menyusutkan air matanya. Hatinya benar-benar hancur. Perpisahan ini tak pernah terpikirkannya. Kini ia telah menjadi janda. Dari suami yang  ditemukan tewas terbunuh oleh kekasih sesama jenisnya
Padang, 2016

20 komentar untuk "Cerpen : Sepotong Cinta yang Ternoda (Lampung Post, 10 September 2016)"

  1. Akhhhh senangnya cerpennya di muat di koran mbak. Dan kereeenn ^_^

    BalasHapus
  2. Bagus sekali mba ceritnya alurnya maju mundur y saya suka dan jadi bahan pelajaran bwt saya. Semoga bisa spt mba menembus media hehehe sukses sll mba keren bgt ❤️👍

    BalasHapus
  3. kereen mbak, aku udah lama pengen banget bisa nulis cerpen :)

    BalasHapus
  4. Masyaallah, bagus banget, Mba. Setuju sama mba Herva, alur maju mundurnya bikin emosi ikut dalam cerita.
    Kewwreeen, mba^^

    BalasHapus
  5. Selamat mak naqiii.. Kerennn..ikut deg-degan.. Saya nulis fiksi blm bisa bisa juga.. :(

    BalasHapus
  6. Kalau misalnya baca cerpen, aku selalu inget cerpen beberapa ratus lembarku yang hilang pas jaman - jamannya make disket :((((( *nangis*


    Btw, cerpennya bagus mbak :')

    BalasHapus
  7. Selamat mak Naqi atas prestasinya ^^

    BalasHapus
  8. Endingnya mengejutkan, Mbak. Sangat kekinian.
    Teknik.berceritanya juga bagus. Ayo.menulis lagi dan lagi

    BalasHapus
  9. Keren ceritanya, Mba Naqi. Aku pernah nulis cerpen ttg LGBT juga, tapi ga pernah nyoba kirim ke Media.
    Pasti happy banget ya bisa menembus media cetak lagi. :)

    BalasHapus
  10. Sedikit tegang membacanya, Mbak. Membaca sambil terus menebak-nebak, ada apa dengan Hendi. Dan, saya salah menduga, saya kira Hendi transgender hahaha...ternyata salaah!!
    Ceritanya bagus, Mbak. Penuh makna. Selamat ya...langganan dimuat media, nih! Kereen...!

    BalasHapus
  11. Kereeeen. Makin sukses ya mbak Naqi

    BalasHapus
  12. Kereeen. Suka sama karyanya mba. Aku kok mumet banget ya klo mau bikin cerpen, ajarin duunk mbaa #eh

    BalasHapus
  13. Barakallah Mba..

    tegang bacanya, jadi ingat Kak Sinyo Egie dan perjuangannya bersama teman-teman

    BalasHapus
  14. suka alur majunya, potongannya pas mba Naqy, sukses terus ya :)

    BalasHapus
  15. Masya Allah, bagus cerpennya Mba^^
    Aku belum pernah berani ngirim ke media nih. Harus dicoba ya Mba, kalau nggak nyoba nggak akan tau kemampuan kita.

    BalasHapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menghindari spam. Mohon juga follow blog, Google +, twitter: @Naqiyyah_Syam dan IG saya : @naqiyyahsyam. Semoga silaturahmi kita semakin terjalin indah ^__^